Dengar Nak : Ayah mengatakan ini pada saat kau
terbaring dalam tidurmu yang lelap, sebelah tangan kecil merayap di bawah
pipimu dan rambutmu yang lembut lengket pada dahimu yang lembab. Ayah
menyelinap masuk seorang diri ke kamarmu. Baru beberapa menit yang lalu, ketika
Ayah sedang membaca koran di ruang perpustakaan, satu sapuan sesal yang amat
dalam menerpa Ayah. Dengan perasaan bersalah Ayah datang masuk menghampiri
pembaringanmu.
Saat makan pagi
Ayah juga menemukan kesalahan. Kau meludahkan makananmu. Kau menelan
terburu-buru makananmu. Kau meletakkan sikumu di atas meja. Kau mengoleskan
mentega terlalu tebal di rotimu. Dan begitu kau baru mulai bermain dan Ayah
berangkat mengejar kereta api, kau berpaling dan melambaikan tangan sambil
berseru, “Selamat jalan, ayah.” Dan Ayah mengerutkan dahi, lalu menjawab,
“Tegakkan bahumu!”
Kemudian semua
itu berulang lagi pada sore hari. Begitu ayah muncul dari jalan, Ayah segera
mengamatimu dengan cermat, memandang hingga lutut, memandangmu yang sedang
bermain kelereng. Ada
lubang-lubang pada kaus kakimu. Ayah menghinamu di depan kawan-kawanmu, lalu
menggiringmu untuk pulang ke rumah. Kaus kaki mahal – dan kalau kau yang harus
membelinya, kau akan lebih berhati-hati! Bayangkan itu, Nak, itu keluar dari
pikiran seorang Ayah!
Apakah kau ingat,
nantinya, ketika Ayah sedang membaca di ruang perpustakaan, bagaimana kau
datang dengan perasaan takut, dengan rasa terluka dalam matamu? Ketika Ayah
terus memandang koran, tidak sabar karena gangguanmu, kau jadi ragu-ragu di
depan pintu. “Kau mau apa?” semprot Ayah.
Kau tidak berkata
sepatah pun, melainkan berlari melintas dan melompat ke arah Ayah, kau
melemparkan tanganmu melingkari leher Ayah dan mencium Ayah, tangan-tanganmu
yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat, kehangatan yang telah Tuhan
tetapkan untuk mekar di hatimu dan yang bahkan pengabaian sekali pun tidak
mampu melemahkannya. Dan kemudian kau pergi, bergegas menaiki tangga.
Nah, Nak, sesaat
setelah itu koran jatuh dari tangan Ayah, dan satu rasa takut yang menyakitkan
menerpa Ayah. Kebiasaan apa yang sudah Ayah lakukan? Kebiasaan dalam menemukan
kesalahan, dalam mencerca – ini adalah hadiah Ayah untukmu sebagai seorang
anak. Bukan berarti Ayah tidak mencintaimu, Ayah lakukan ini karena Ayah
berharap terlalu banyak dari masa muda. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu
pengukur dari tahun-tahun ayah sendiri.
Dan sebenarnya
begitu banyak hal yang baik dan benar dalam sifatmu. Hati mungil milikmu sama
besarnya dengan fajar yang memayungi bukit-bukit luas. Semua ini kau tunjukkan
dengan sikap spontanmu saat kau menghambur masuk dan mencium Ayah sambil
mengucap selamat tidur. Tidak ada masalah lagi malam ini, Nak. Ayah sudah
datang di tepi pembaringanmu dalam kegelapan, dan Ayah sudah berlutut di sana , dengan rasa malu!
Ini adalah sebuah
rasa tobat yang lemah. Ayah tahu kau tidak akan mengerti hal-hal seperti ini
kalau Ayah sampaikan padamu saat kau terjaga. Tapi esok hari Ayah akan menjadi
seorang Ayah yang sejati! Ayah akan bersahabat karib denganmu, dan ikut
menderita bila kau menderita, dan tertawa bila kau tertawa. Ayah akan menggigit
lidah Ayah kalau kata-kata tidak sabar keluar dari mulut ayah. Ayah akan terus
mengucapkannya kata ini seolah-olah sebuah ritual : “Dia Cuma seorang anak
kecil …. Seorang anak kecil!”
Ayah khawatir
sudah membayangkanmu sebagai seorang yang dewasa. Namun, saat Ayah memandangmu
sekarang, Nak, meringkuk terbaring dan letih dalam tempat tidurmu, Ayah melihat
bahwa kau masih seorang bayi. Kemarin kau masih dalam gendongan Ayah, kepalamu
berada di bahu Ayah. Ayah sudah meminta terlalu banyak, sungguh terlalu banyak.
~W. Livingstone
Larnde~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar